Kita telah mengetahui bahwa Pancasila terdiri dari lima sila yang saling mengikat satu dengan lainnya. Tapi mengapa belakangan ini nasionalisme yang merupakan pengejawantahan sila ketiga nampak mensuboordinasi sila-sila lainnya? Bukankah pancasila juga soal keadilan sosial dan kemanusiaan?
Setidaknya, itu yang bisa kita lihat dalam ide bela negara yang sedang disusun Kementrian Pertahanan dalam beberapa waktu kebelakang. Bela negara, kata Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, merupakan ide untuk meningkatkan nasionalisme dari suatu anggota warga negara dalam kepentingan mempertahankan kedaulatan bangsa.
Program ini diwujudkan, seperti ditulis oleh Beritagar, dalam bentuk pemahaman akan empat pilar negara, sistem pertahanan semesta, dan pengenalan alutsista Tentara Negara Indonesia. Juga ditambah lima nilai cinta tanah air, sadar bangsa, rela berkorban, dan Pancasila sebagai dasar negara. Bahkan, beberapa argumen aparatus negara, seperti Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo misalnya, mengindikasikan bahwa dalam program bela negara akan ada pelatihan penggunaan senjata.
Nasionalisme boleh jadi merupakan suatu konsep yang begitu mengerikan. Sejak berdirinya Indonesia nasionalisme telah menjadi dalih pembantaian warga Timor Timur. Patriotisme telah menjadi dalih pembunuhan orang-orang Papua yang menginginkan kemerdekaan bangsanya. Kedaulatan bangsa telah menjadi dalih penghancuran ruang hidup warga Rembang dengan pendirian pabrik Semen Indonesia.
Keberadaan militer dalam suatu kehidupan berbangsa dan bernegara adalah permasalahan laten yang dialami oleh hampir setiap nation-state. Anthony Giddens dalam bukunya Nation-State and Violence, menyebutkan bahwa sarana kekerasan dalam berbagai bentuk, militer salah satunya, merupakan suatu keniscayaan dalam negara modern.
Sarana kekerasan merupakan suatu kebutuhan dalam menjalankan pasifikasi internal dalam suatu negara bangsa. Ia dibutuhkan untuk mengamankan tumbuh kembangnya kapitalisme. Militer sebagai bentuk dari sarana kekerasan yang dimiliki oleh negara modern merupakan faktor utama yang menjamin stabilitas akumulasi kapital di suatu negara.
Mengacu pada Giddens, pengawasan oleh sarana kekerasan ini terjadi di hampir seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Sarana kekerasan dipasang di pabrik-pabrik untuk mengawasi geliat serikat buruh. Sarana kekerasan diletakkan di desa-desa untuk memata-matai pergerakan petani. Dan juga, sarana kekerasan dibutuhkan di ruang pendidikan demi mengawasi radikalisasi para terdidik. Dan juga sebagai sarana hegemoni ilmu pengetahuan.
Dalam realitas kontemporer, jika mengacu pada pendapat Giddens tersebut, keberadaan militer nampaknya semakin dibutuhkan oleh aparatus negara untuk mengamankan pembangunan proyek-proyek infrastruktur yang dicanangkan oleh pemerintah.
Data Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) tahun 2016, mencatat bahwa permasalahan utama pembangunan infrastruktur di rezim Joko Widodo adalah proses pembebasan lahan. Masyarakat kebanyakan tidak mau melepas lahannya karena tanah merupakan sumber kehidupan mereka.
Dengan adanya penolakan terhadap masifnya proyek pembangunan infrastruktur tersebut juga mempengaruhi dan meningkatkan eskalasi konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat bahwa di tahun 2016 saja, tercatat 100 konflik agraria di sektor infrastruktur. Sektor ini menjadi salah satu sektor penyumbang konflik agraria terbesar di Indonesia. Dan untuk menanggulangi penolakan-penolakan itu, negara kerap kali memanfaatkan militer untuk melakukan pembungkaman terhadap resistensi masyarakat tersebut.
Militer memang kerap kali tidak tahu diri. Mereka merasa paling memiliki rasa nasionalisme dan merasa paling menjalankan pancasila. Padahal, boleh jadi mereka adalah salah satu pihak yang kerap kali menodai semangat pancasila itu sendiri.
Pasca-tragedi 1965, militer melakukan perampasan tanah milik masyarakat sipil di Jawa Timur dengan dalih mengamankan tanah dari anasir komunis. Tanah-tanah milik orang yang dituduh sebagai komunis diambil paksa dengan dalih mengamankan kedaulatan bangsa. Menjelang reformasi, militer menculik para aktivis pro-demokrasi yang menginginkan negara ini lepas dari belenggu rezim fasis Soeharto. Mereka disiksa, dipukuli, bahkan tak sedikit yang mati.
Seperti yang telah saya paparkan sebelumnya bahwa sarana kekerasan dibutuhkan di berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, demi mengamankan akumulasi kapital, termasuk pendidikan. Dan kali ini, ide bela negara, yang berbaru militeristik itu akan membuat militer kembali membangun baraknya di dalam lingkungan pendidikan.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah, menurut hemat saya, militer saat ini mulai mendapatkan tempat di dalam lingkungan pendidikan. Tanpa terkecuali lingkungan pendidikan tinggi. Lihat saja seberapa sering panglima militer diberikan panggung dengan memberikan kuliah umum, seminar, atau sejenisnya di dalam kampus. Dan parahnya lagi, tanpa menihilkan peran militer perihal kebangsaan, dia berbicara tentang kebangsaan!
Apa yang bisa kita harapkan dari para terdidik yang dicekoki dengan pikiran-pikiran nasionalisme sempit ala militer yang dibawa dalam program bela negara? Akan kemana arah trajektori bangsa ini jika para terdidik disuapi dengan doktrin membela bangsa hanya dengan mengangkat senjata? Bukan kah para militer yang mengangkat senjata itu adalah kelompok yang malah sering membunuh saudara sebangsa dan setanah air?
Barangkali kita perlu berpikir ulang, mengutip Omi Intan Naomi dalam esainya, Mendidik Si Alim, Pembangkang, Pemberontak, bahwa tak pernah ada universitas tiran. Tapi toh, kita tak pernah kehabisan stok persediaan tiran.
Tak ada yang menginginkan Adolf Hitler menggelar impian kolosal dengan melibatkan jutaan orang sebagai korban. Tak ada yang menginginkan Soeharto menjadi mesin fasis yang membunuh jutaan saudara sebangsanya sendiri dan mengeruk kekayaan negara untuk kepentingan kroni-kroninya.
Dan dengan adanya ide bela-negara yang ditopang oleh pola pikir militeristik, boleh jadi trajektori bangsa ini akan tumbuh ke arah bangsa yang nir-keadilan dan nir-kemanusiaan.
note: Tulisan ini pernah diterbitkan di majalah Aspirasi